logo web

Written by Super User on . Hits: 59

PROSEDUR EKSEKUSI

EKSEKUSI GROSSE AKTA

  1. Sesuai Pasal 224 HIR/Pasal 258 RBg ada dua macam grosse yang mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu grosse akta pengakuan hutang dan grosse sita hipotik bpal;
  2. Grosse adalah salinan pertama  dan  akta  Salinan pertama ini  diberikan kepada kreditur;
  3. Oleh karena salinan pertama dan alas pengakuan hutang yang dibuat oleh Notaris mempunyai kekuatan eksekusi, maka salinan pertama ini harus ada kepala/ Irah-irah yang berbunyi ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Salinan lainnya yang diberikan kepada debitur tidak memakai kepala/ irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Asli dari akta (minit) disimpan oleh Notaris dalam arsip dan tidak memakai kepala/ irah-irah;
  4. Grosse atas pengakuan hutang yang berkepala Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, oleh Notaris diserahkan kepada kreditor yang dikemudian hari bisa diperlukan dapat langsung dimohonkan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Agama;
  5. Eksekusi berdasarkan Grosse akta  pengakuan hutang  Fixed  Loan  hanya  dapat dilaksanakan apabila debitur sewaktu ditegur, membenarkan jumlah hutangnya itu;
  6. Apabila debitur membantah jumlah hutang tersebut, dan besarnya hutang menjadi tidak fixed, maka eksekusi tidak bisa dilanjutkan. Kreditur, yaitu bank untuk dapat mengajukan tagihannya harus melalui suatu gugatan, yang dalam hal ini, apabila syarat-syarat terpenuhi, dapat dijatuhkan putusan serta merta;
  7. Pasal 14 Undang-undang Pelepas Uang (Geldschieters Ordonantie, S.1938-523), melarang Notaris membuat atas pengakuan hutang dan mengeluarkan grosse aktanya untuk perjanjian hutang-piutang dengan seorang pelepas uang;
  8. Pasal 224 HIR, Pasal 258 RBg. tidak berlaku untuk grosse akta semacam ini;
  9. Grosse akta pengakuan hutang yang diatur dalam Pasal 224 HIR, Pasal 258 RBg, adalah sebuah surat yang dibuat oleh Notaris antara Orang Alamiah/ Badan Hukum yang dengan kata-kata sederhana yang bersangkutan mengaku, berhutang uang sejumlah tertentu dan ia berjanji akan mengembalikan uang itu dalam waktu tertentu, misalnya dalam waktu 6 (enam) bulan, dengan disertai bunga sebesar 2 % sebulan;
  10. Jumlah yang  sudah  pasti  dalam  surat  pengakuan  hutang  bentuknya  sangat sederhana dan tidak dapat ditambahkan persyaratan-persyaratan lain;
  11. Kreditur yang memegang grosse atas pengakuan hutang yang berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dapat langsung memohon eksekusi kepada Ketua Pengadilan Agama yang bersangkutan dalam hal debitur ingkar janji;

EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN

  1. Pasal 1 butir (1)  Undang-undang No.  4  Tahun 1996 menyebutkan bahwa “Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda- benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah milik, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.”
  2. Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan   bagian   tak   terpisahkan   dari         perjanjian  utang-piutang  yang bersangkutan suatu perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut, dan pemberian Hak Tanggungan tersebut dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT (Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang¬-undang No. 4 Tahun 1996).
  3. Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan, dan sebagai bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pendaftaran Tanah menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan yang memuat irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” (Pasal 13 ayat (I), Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 4 Tahun 1996).
  4. Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum  tetap, dan  apabila debitur cidera janji maka berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan tersebut, pemegang hak tanggungan mohon eksekusi sertifikat hak tanggungan kepada Ketua Pengadilan Agama yang berwenang. Kemudian eksekusi akan dilakukan seperti eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
  5. Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan dibawah tangan, jika dengan demikian itu akan diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak  (Pasal  20 ayat  (2) Undang-undang No.4 Tahun 1996).
  6. Pelaksanaan penjualan dibawah tangan tersebut hanya dapat dilakukan setelah lewat  1 (satu) bulan  sejak diberitahukan secara tertulis oleh pembeli dan/ atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/ atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan (Pasal 20 ayat (3) Undang-undang No. 4 Tahun 1996).
  7. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT, dan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
    1. tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain dari pada membebankan Hak Tanggungan;
    2. tidak memuat kuasa substitusi;
    3. mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitur apabila debitur bukan pemberi Hak Tanggungan;
  8. Eksekusi hak tanggungan dilaksanakan seperti eksekusi putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum yang tetap.
  9. Eksekusi dimulai  dengan  teguran  dan  berakhir  dengan  pelelangan  tanah  yang dibebani dengan Hak tanggungan.
  10. Setelah dilakukan pelelangan terhadap tanah yang dibebani Hak tanggungan dan uang hasil lelang diserahkan kepada Kreditur, maka hak tanggungan yang membebani tanah tersebut akan diroya dan tanah tersebut akan diserahkan secara bersih, dan bebas dan semua beban, kepada pembeli lelang.
  11. Apabila terlelang tidak mau meninggalkan tanah tersebut, maka berlakulah ketentuan yang terdapat dalam Pasal 200 ayat (11) HIR.
  12. Hal ini berbeda dengan penjualan berdasarkan janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri berdasarkan Pasal 1178 ayat (2) BW, dan Pasal 11 ayat (2) e UU No. 4 Tahun 1996 yang juga dilakukan melalui pelelangan oleh Kantor Lelang Negara atas permohonan pemegang hak tanggungan pertama, Janji ini hanya berlaku untuk pemegang Hak  tanggungan  pertama    Apabila  pemegang  hak  tanggungan pertama telah membuat janji untuk tidak dibersihkan (Pasal 1210 BW dan pasal 11 ayat (2) j UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan), maka apabila ada Hak tanggungan lain-¬lainnya dan hasil lelang tidak cukup untuk membayar semua Hak tanggungan yang membebani tanah yang bersangkutan, maka hak tanggungan yang tidak terbayar itu, akan tetap membebani persil yang bersangkutan, meskipun sudah dibeli oleh pembeli dan pelelangan yang sah. Jadi pembeli lelang memperoleh tanah tersebut dengan beban-beban hak tanggungan yang belum terbayar. Terlelang tetap harus meninggalkan tanah tersebut dan apabila ia membangkang, ia dan keluarganya, akan dikeluarkan dengan paksa.
  13. Dalam hal lelang telah diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Agama, maka lelang tersebut hanya dapat ditangguhkan oleh Ketua Pengadilan Agama dan tidak dapat ditangguhkan dengan alasan apapun oleh pejabat instansi lain, karena lelang yang diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Agama dan dilaksanakan oleh Kantor Lelang Negara, adalah dalam rangka eksekusi, dan bukan merupakan putusan dari Kantor Lelang Negara.
  14. Penjualan (lelang) benda tetap harus di umumkan dua kali dengan berselang lima belas hari di harian yang terbit di kota itu atau kota yang berdekatan dengan obyek yang akan dilelang (Pasal 200 ayat (7) HIR, Pasal 217 RBg).

 EKSEKUSI JAMINAN

  1. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, butir 1, yang dimaksud dengan FIDUSIA adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
  2. Jaminan Fidusia  adalah  hal  jaminan  atas  benda  bergerak  baik  yang  berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor  4  Tahun  1996  tentang  Hak  Tanggungan  yang  tetap  berada  dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.
  3. Benda obyek jaminan fidusia tidak dapat dibebani Hak tanggungan atau hipotek.
  4. Pembebanan benda  dengan  jaminan  fidusia  dibuat  dengan  alas  notaris  dalam bahasa Indonesia yang sekurangkurangnya memuat :
    1. identitas pihak pemberi dan penerima fidusia;
    2. data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;
    3. uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia;
    4. nilai penjaminan; dan
    5. nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
  5. Jaminan fidusia harus didaftarkan oleh  penerima fidusia atau  kuasanya kepada Kantor Pendaftaran Fidusia selanjutnya Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan dan menyerahkan kepada penerima fidusia Sertifikat Jaminan Fidusia yang mencantumkan kata-kata “DEM! KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
  6. Apabila terjadi perubahan mengenai hal-hal yang tercantum dalam Sertifikat Jaminan Fidusia Penerima Fidusia wajib mengajukan permohonan pendaftaran atas perubahan tersebut kepada Kantor Pendaftaran Fidusia, selanjutnya Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan Pernyataan Perubahan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Sertifikat Jaminan Fidusia.
  7. Pemberi fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang sudah terdaftar.
  8. Jaminan fidusia dapat dialihkan kepada kreditor baru, dan pengalihan tersebut harus didaftarkan oleh kreditor baru kepada Kantor Pendaftaran Fidusia.
  9. Apabila debitur atau pemberi fidusia cedera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara:
    1. Pengalihan hak atas piutang juga dijamin dengan fidusia yang mengakibatkan beralihnya demi hukum  segala hak  dan  kewajiban penerima fidusia kepada Kreditur baru.
    2. Penjualan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;
    3. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak (Iihat Pasal 29 UU No. 40 Tahun 1999).
  10. Prosedur dan tatacara eksekusi selanjutnya dilakukan seperti dalam eksekusi hak tanggungan.

EKSEKUSI PUTUSAN YANG BERKEKUATAN HUKUM TETAP

  1. Putusan yang berkekuatan hukum tetap adalah putusan Pengadilan Agama yang diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara, putusan perdamaian, putusan verstek yang terhadapnya tidak diajukan verzet atau banding; putusan Pengadilan Tinggi yang diterima oleh kedua belah pihak dan tidak dimohonkan kasasi; dan putusan Mahkamah Agung dalam hal kasasi.
  2. Menurut sifatnya ada 3 (tiga) macam putusan, yaitu:
    1. Putusan deklaratif, adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau menyatakan apa yang sah, misalnya anak yang menjadi sengketa adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah, putusan yang menolak gugatan.
    2. Putusan konstitutif, adalah putusan yang bersifat menghentikan atau menimbulkan hukum baru yang tidak memerlukan pelaksanaan dengan paksa, misalnya memutuskan suatu ikatan perkawinan.
    3. Putusan kondemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang kalah untuk  memenuhi  suatu  prestasi  yang  ditetapkan  oteh   Dalam putusan yang bersifat kondemnatoir amar putusan hams mengandung kalimat “menghukum tergugat (berbuat sesuatu, tidak       berbuat sesuatu,  menyerahkan sesuatu, membongkar sesuatu, menyerahkan sejumlah uang,  membagi, dan mengosongkan).
  3. Dari segi isinya tediri
    1. Niet Onvankelijk Verklaart (NO). Berarti tidak dapat diterima gugatan dimana putusan pengadilan yang diajukan oleh penggugat tidak dapat diterima karena ada alasan yang dibenarkan oleh hukum, sehagai berikut.
    2. Gugatan tidak   berdasarkan  hukum,  artinya  gugatan  yang   diajukan  oleh penggugat. harus jelas dasar hukumnya claim menuntut haknya. Jadi kalau tidak ada dasar hukumnya maka gugatan tersebut tidak dapat diterima.
    3. Gugatan tidak mempunyai kepentingan hukum secara langsung yang melekat pada diri penggugat, Tidak semua orang yang mempunyai kepentingan hukum dapat mengajukan gugatan apabila kepentingan itu tidak langsung melekat pada dirinya, Orang yang tidak ada hubungan langsung hares mendapat kuasa lebih dahulu dari orang atau badan hukum yang berkentingan langsung untuk mengajukan gugatan.
    4. Gugatan Kabur (Obscuur Libel) artinya posita dan petitum dalam gugatan tidak saling mendukung atau dalil gugat kontradiksi, mungkin juga objek yang disengketakan tidak jelas, dapat pula petitum tidak jelas atau tidak dirinci tentang apa yang diminta.
    5. Gugatan prematur adalah gugatan yang belum semestinya diajukan karena ketentuan undang-undang belum  terpenuhi  misalnya  hutang  masanya  untuk ditagih atau belum jatuh tempo.
    6. Gugatan nebis in idem adalah gugatan yang diajukan oleh penggugat sudah pernah diputus pengadilan yang sama dengan objek sengketa yang sama dan pihak-pihak yang bersengketa juga sama orangnya. Dalam perkara perceraian bisa saja  tidak terjadi  nebis in idem,  kalau  perkara yang  sebelumnya telah diputus dengan dalil pertengkaran kemudian tidak diterima kemudian diajukan lagi dengan dalil bahwa tergugat memukul pengugat.
    7. Gugatan error in persona adalah gugatan salah alamat, ini dapat bersifat Bemis aan laeding heid. Misalnya seorang ayah mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama untuk anaknya, yang menggugat suami dengan tuntutan agar Pengadilan Agama  menceraikan  anaknya  dengan    Jadi  bukan anaknya sendiri yang mengajukan gugatan oleh karena itu gugatan seperti ini tidak dapat diterima.
    8. Gugatan yang telah lampau waktu (daluwarsa) adalah gugatan yang diajukan oleh penggugat telah melampaui waktu yang telah ditentukan undang-undang. Misalnya dalam Pasal 27 UU no.1 Thus 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa seorang suami atau istri  dapat  mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilakukan di bawah ancaman yang melanggar hukum. Apabila ancaman telah berhenti atau yang bersalah sangka menyadari keadaannya dan dalam jangka waktu enam bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri dari tidak mempergunakan haknya untuk, mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur. Apabila penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama maka gugatannya tidak dapat diterima karena mengajukan  gugatan telah  lewat  waktu  yang  telah  ditentukan oleh  undang- undang.
    9. Gugatan dihentikan  (aan  hanging)  adalah  penghentian  gugatan  disebabkan karena adanya perselisilihan kewenangan mengadili antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri. Kalau terjadi hal seperti itu maka baik PA maupun PN harus menghentikan pemeriksaan tersebut dan kedua badan peradilan itu hendaknya mengirim berkas perkara ke MA untuk ditetapkan siapa yang berwenang  untuk  memeriksa  dan  mengadili  perkara  Penghentian sementara pemeriksaan gugatan dapat ditempuh dengan cara mencatat dalam berita acara persidangan atau dapat juga dalam bentuk penetapan majelis.
  4. Dari segi jenisnya
    1. Putusan Sela,  adalah  putusan  yang  belum  merupakan  putusan    Dan putusan sela ini tidak mengikat hakim bahkan hakim yang menjatuhkan putusan sela berwenang mengubah putusan sela tersebut jika  ternyata mengandung kesalahan. Pasal 48 dan Pasal 332 RV, putusan sela terdiri dari :
    2. Putusan Preparatoir adalah putusan untuk mempersiapkan putusan akhir tanpa ada pengaruhnya atas pokok perkara atau putusan akhir. Contoh putusan untuk menggabungkan dua perkara atau untuk menolak diundurkannya pemeriksaan saksi-saksi.
    3. Putusan Interlucotoir adalah putusan yang isinya memerintahkan pembuktian dan dapat mempengaruhi putusan akhir, misalnya putusan untuk memeriksa saksi-saksi atau pemeriksaan setempat.
    4. Putusan Insidentil adalah putusan atas suatu perselisihan yang tidak begitu mempengaruhi atau berhubungan dengan pokok perkara, misalnya dalam hal terjadi voeging, tussenkomst, prodeo, penetapan sita, dll.
    5. Putusan Provisi adalah putusan yang menjawab tuntutan provisionil yaitu permintaan para pihak yang bersengketa agar untuk sementara dilakukan tindakan   Misalnya  dalam  gugatan  cerai  isteri  meminta  bahwa selama perkara belum diputus diizinkan untuk tidak tinggal serumah atau memohon kepada majelis untuk ditetapkan nafkah yang dilalaikan oleh suaminya sebelum putusan akhir dijatuhkan.
  5. Putusan untuk melaksanakan suatu perbuatan, apabila tidak dilaksanakan secara sukarela, harus dinilai dalam sejumlah uang (Pasal 225 HIR/Pasal 259 RBg) dan selanjutnya akan dilaksanakan seperti putusan untuk membayar sejumlah uang.
  6. Penerapan Pasal 225 HIR/259 Rbg harus terlebih dahulu ternyata bahwa Termohon tidak mau melaksanakan putusan tersebut dan pengadilan tidak dapat / tidak mampu melaksanakannya walau  dengan  bantuan  alat     Dalam  hal  demikian, Pemohon dapat mengajukan kepada Ketua Pengadilan Agama agar termohon membayar sejumlah uang, yang nilainya sepadan dengan perbuatan yang harus dilakukan oleh Termohon. Untuk memperoleh jumlah yang sepadan, Ketua Pengadilan  Agama  wajib  memanggil  dan  mendengar  Termohon  eksekusi  dan apabila diperlukan Ketua Pengadilan Agama dapat meminta keterangan dari seorang ahli di bidang tersebut. Penetapan jumlah uang yang harus dibayar oleh termohon dituangkan dalam penetapan Ketua Pengadilan Agama.
  7. Putusan untuk  membayar  sejumlah  uang,  apabila  tidak  dilaksanakan  secara sukarela, akan dilaksanakan dengan cara melelang barang milik pihak yang dikalahkan, yang sebelumnya harus disita (Pasal 200 HIR, Pasal 214 s/d Pasal 274 RBg).
  8. Putusan dengan  mana  tergugat  dihukum  untuk  menyerahkan  sesuatu  barang, misalnya sebidang tanah, dilaksanakan oleh jurusita, apabila perlu dengan bantuan alat kekuasaan negara.
  9. Eksekusi harus dilaksanakan dengan tuntas. Apabila eksekusi telah dilaksanakan, dan barang  yang  dieksekusi  telah  diterima  oteh  pemohon  eksekusi,  kemudian diambil kembali oleh tereksekusi, maka eksekusi tidak bisa dilakukan kedua kalinya.
  10. Jalan yang dapat ditempuh oleh yang bersangkutan adalah melaporkan hal tersebut di atas kepada pihak yang berwajib (pihak kepolisian) atau mengajukan gugatan untuk memperoleh kembali barang (tanah/rumah tersebut).
  11. Putusan Pengadilan  Agama  atas  gugatan  penyerobotan,  apabila  diminta  dalam petitum, dapat dijatuhkan putusan serta-merta atas dasar sengketa bezit / kedudukan berkuasa.
  12. Apabila suatu  perkara  yang  telah  berkekuatan hukum  tetap  telah  dilaksanakan (dieksekusi ) atas suatu barang dengan eksekusi riil, tetapi kemudian putusan yang berkekuatan hukum  tetap  tersebut  dibatalkan  oleh  putusan  peninjauan  kembali, maka barang yang telah diserahkan kepada pihak pemohon eksekusi tersebut wajib diserahkan tanpa proses gugatan kepada pemilik semula sebagai pemulihan hak.
  13. Pemulihan hak diajukan Pemohon kepada Ketua Pengadilan Agama.
  14. Eksekusi pemulihan hak dilakukan menurut tata cara eksekusi riil. Apabila barang tersebut sudah dialihkan kepada pihak lain, termohon eksekusi dalam perkara yang berkekuatan hukum  tetap  dapat  mengajukan  gugatan  ganti  rugi  senilai  obyek miliknya yang telah dieksekusi tersebut dengan eksekusi serta merta.
  15. Apabila suatu  proses  perkara  sudah  memperoleh  suatu  putusan  namun  belum berkekuatan hukum tetap, tetapi terjadi perdamaian di luar pengadilan yang intinya mengesampingkan amar putusan, ternyata perdamaian itu diingkari oleh salah satu pihak   dan   proses   perkara  dihentikan   sehingga  putusan   yang   ada   menjadi berkekuatan hukum tetap, maka putusan yang berkekuatan hukum tetap itulah yang dapat dieksekusi. Akan tetapi pihak yang merasa dirugikan dengan ingkar janjinya pihak yang membuat perjanjian perdamaian itu dapat mengajukan gugatan dengan dasar wanprestasi. Dalam hal yang demikian, Ketua Pengadilan Agama dapat menunda eksekusi putusan yang berkekuatan hukum tetap tersebut.

LELANG (PENJUALAN UMUM)

  1. Pengumuman lelang dilakukan melalui harian yang terbit di kota atau kota yang berdekatan dengan tempat objek lelang terletak (Perhatikan Pasal 195 HIR, Pasal 206 RBg dan Pasal 217 RBg).
  2. Lelang dilakukan berdasarkan Peraturan Lelang, Lembaran Negara Tahun 1908 No. 189, yang bersambung dengan Lembaran Negara Tahun 1940 No. 56.
  3. Lelang dilakukan dengan tata cara peraturan lelang. Surat penawaran harus dimasukkan kedalam kotak yang telah disediakan ditempat lelang atau diserahkan oleh calon peserta lelang sendiri kepada Pejabat lelang dari Kantor Lelang. Surat penawaran harus tertulis dalam bahasa Indonesia dengan angka atau huruf latin yang jelas dan lengkap dan ditandatangani oleh penawar. Surat penawaran tersebut setelah memenuhi syarat disahkan oleh pejabat lelang.
  4. Penawar tidak boleh mengajukan surat penawaran lebih dari satu kali untuk sama bidang tanah, bangunan atau barang tertentu.
  5. Orang yang telah menandatangani surat penawaran tersebut di atas, bertanggung jawab sepenuhnya secara pribadi atas pembayaran uang pembelian lelang apabila dalam penawaran itu ia bertindak sebagai kuasa seseorang, perusahaan atau badan umum. Untuk dapat turut serta dalam pelelangan, para penawar diwajibkan menyetor uang jaminan yang jumlahnya ditentukan oleh pejabat lelang, uang  mana akan diperhitungkan  dengan  harga  pembelian,  jumlah  penawar  yang  bersangkutan ditunjuk selaku pembeli.
  6. Agar tujuan lelang tercapai maka sebelum lelang dilaksanakan, kreditur dan debitur dipanggil oleh Ketua Pengadilan Agama untuk mencari jalan keluar, misalnya debitur diberi waktu  selama 2  bulan  untuk  mencari  pembeli  yang  mau  membeli  tanah tersebut. Apabila hal itu terjadi, pembayaran harus dilakukan di depan Ketua Pengadilan Agama, selanjutnya pembeli, kreditur dan debitur menghadap PPAT untuk membuat akte jual belinya, dan kemudian dilakukan balik nama tanah tersebut menjadi atas nama pembeli. Hak tanggungan yang membebani tanah tersebut akan diperintahkan agar diroya.
  7. Apabila dalam waktu paling lambat selama-lamanya 2 bulan debitur tidak berhasil mendapatkan pembeli sesuai dengan harga yang diinginkan, kreditur dan debitur, dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Agama, menentukan harga limit dari tanah yang akan lelang.
  8. Apabila selama 2 bulan tidak ada penawaran, maka penjualan umum diumumkan lagi satu kali dalam harian yang terbit di kota itu atau kota yang berdekatan dengan tanah yang akan dilelang. Jika pelelangan dengan harga limit tidak tercapai, maka Ketua Pengadilan Agama memberikan kesempatan kepada debitur untuk kembali mencari pembeli selama-lamanya 1 bulan. Dan jika tidak berhasil maka kreditur akan memperoleh tanah tersebut dengan harga limit itu, selanjutnya hutang dibayar dan hak tanggungan yang membebani tanah tersebut diroya.
  9. Apabila penawaran tertinggi tidak mencapai harga limit yang ditentukan oleh penjual, maka jika dianggap perlu, seketika itu juga penjualan umum diubah dengan penawaran lisan dengan harga-harga naik.
  10. Penawar/pembeli dianggap  sungguh-sungguh  telah  mengetahui  apa  yang  telah ditawar/dibeli    Apabila  terdapat  kekurangan  atau  kerusakan,  baik  yang terlihat atau tidak terlihat atau terdapat cacat lainnya terhadap barang yang telah dibelinya itu,  maka  ia tidak berhak untuk  menolak menarik diri  kembali setelah pembeliannya disahkan dan melepaskan semua hak untuk meminta ganti kerugian berupa apapun juga.
  11. Barang yang terjual, pada saat itu juga, menjadi hak dan tanggungan pembeli dan apabila barang itu berupa tanah dan rumah, pembeli harus segera mengurus/membalik nama hak tersebut atas namanya.
  12. Pembeli tidak  diperkenankan  untuk  menguasai  barang  yang  telah  dibelinya  itu sebelum uang pembelian dipenuhi/dilunasi seluruhnya, yaitu harga pokok, bea lelang dan uang miskin. Kepada pembeli lelang diserahkan tanda terima pembayaran.
  13. Apabila yang dilelang itu adalah tanah/tanah dan rumah yang sedang ditempati/dikuasai oleh tersita /lelang, maka dengan menunjuk kepada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 200 (11) HIR atau Pasal 218 ayat (2) RBg., apabila terlelang tidak bersedia untuk menyerahkan tanah/tanah dan rumah itu secara kosong,  maka  terlelang,  beserta  keluarganya,  akan  dikeluarkan  dengan  pasal, apabila perlu dengan bantuan yang berwajib dari tanah/tanah dan rumah tersebut berdasarkan permohonan yang diajukan oleh pemenang lelang.
  14. Ketentuan yang sama berlaku bagi pembelian lelang yang dilakukan oleh Panitia Urusan Piutang dan Lelang Negara (PUPN). Pasal 11 ayat (11) Undang-undang No. 49 Tahun 1960, LN 1960 No. 156, TLN No. 2014 jo. TLN No. 2104, berbunyi “Jika orang yang disita menolak untuk meninggalkan barang tak bergerak tersebut, maka Hakim Pengadilan  Agama mengeluarkan perintah  tertulis  kepada  seorang  yang berhak melaksanakan surat jurusita untuk berusaha agar supaya barang tersebut ditinggalkan dan dikosongkan oleh yang disita dengan sekeluarganya serta barang- barang miliknya dengan bantuan Panitera Pengadilan Agama lain yang ditunjuk oleh Hakim jika perlu dengan bantuan alat kekuasaan Negara”.
  15. Dalam hal ini Kepala Panitia Urusan Piutang dan Lelang Negara meminta bantuan kepada Ketua Pengadilan Agama dimana barang tersebut terletak dan pengosongan dilakukan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Agama tersebut.
  16. Agar diperhatikan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 198, 199, 227 (3) HIR atau Pasal 213, 214 dan pasa! 261 (2) RBg: “bahwa penyewa, pembeli, orang yang mendapat hibah, yang memperoleh tanah/tanah dan rumah tersebut, setelah tanah/tanah dan rumah tersebut disita dan sita itu telah didaftarkan sesuai ketentuan dalam Pasal tersebut di atas ini juga termasuk orang-orang yang akan dikeluarkan secara paksa dari tanah/tanah dan rumah tersebut.”
  17. Orang yang menyewa tanah/tanah dan rumah tersebut sebelum dilakukan penyitaan, baik sita jaminan atau sita eksekutorial seperti tersebut dalam pasal-pasal tersebut di atas, tidak terkena sanksi termaksud. Untuk dapat menguasai tanah/rumah yang dibeli lelang, pembeli lelang harus menunggu sampai masa sewa habis.
  18. Atas Pemberian  Hak  Tanggungan  yang  tidak  didaftarkan  di  Kantor  Pertanahan setelah tanah tersebut disita, baik sita jaminan, maupun sita eksekusi, sesuai ketentuan yang terdapat dalam Pasal 198, 199, 227 (3) HIR atau Pasal 213, 214, dan 261 (2) RBg, tidak berkekuatan hukum.
  19. Suatu pelelangan yang telah dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku tidak dapat dibatalkan.
  20. Dalam hal terdapat kekurangan atau pelelangan telah dilaksanakan tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, maka pelelangan tersebut dapat dibatalkan melalui suatu gugatan yang diajukan kepada Pengadilan Agama.
  21. Pembeli !elang yang beritikad baik harus dilindungi.

PERLAWANAN TERHADAP EKSEKUSI

  1. Perlawanan terhadap eksekusi dapat      diajukan   oleh      orang     yang       terkena eksekusi/tersita atau  oleh  pihak  ketiga  atas  dasar  hak  milik,  perlawanan  mana diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama yang melaksanakan eksekusi, lihat Pasal 195 ayat (6) dan (7) HIR.
  2. Perlawanan ini pada azasnya tidak menangguhkan eksekusi (Pasal 207 ayat (3) HIR dan 227 RBg), kecuali apabila segera nampak bahwa perlawanan tersebut benar dan beralasan, maka eksekusi ditangguhkan, setidak-tidaknya sampai dijatuhkan putusan oleh Pengadilan Agama.
  3. Terhadap putusan ini dapat diajukan upaya hukum.

PERLAWANAN PIHAK KETIGA (Derden Verzet)

  1. Perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekusi atau sita jaminan tidak hanya dapat diajukan atas dasar hak milik, jadi hanya dapat diajukan oleh pemilik atau orang yang merasa bahwa ia adalah pemilik barang yang disita dan diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama dan Pengadilan Agama yang secara nyata menyita (Pasal 195(6) HIR/Pasal 206 (6) RBg)
  2. Pemegang hak harus dilindungi dari suatu (sita) eksekusi dimana pemegang hak tersebut bukan sebagai pihak dalam perkara antara lain pemegang hak pakai. hak guna bangunan, hak tanggungan, hak sewa dan lain-lain.
  3. Perlawanan dapat diajukan oleh pemegang hak tanggungan, apabila tanah  dan rumah  yang  dijaminkan kepadanya  dengan hak  tanggungan disita,  berdasarkan klausula yang terdapat dalam perjanjian yang dibuat dengan debiturnya langsung dapat minta eksekusi kepada Ketua Pengadilan Agama atau Kepala PUPN.
  4. Dalam perlawanan pihak ketiga tersebut pelawan harus dapat membuktikan bahwa ia mempunyai alas hak atas barang yang disita dan apabila ia berhasil membuktikan, maka ia akan dinyatakan sebagai pelawan yang benar dan sita akan diperintahkan untuk diangkat. Apabila pelawan tidak dapat membuktikan bahwa ia adalah pemilik dari barang yang disita maka pelawan akan dinyatakan sebagai pelawan yang tidak benar atau pelawan yang tidak jujur, dan sita akan dipertahankan.
  5. Perlawanan pihak ketiga yang diajukan oleh istri atau suami terhadap harta bersama yang disita, tidak dibenarkan karena harta bersama selalu merupakan jaminan untuk pembayaran hutang istri atau suami yang terjadi dalam perkawinan, yang harus ditanggung bersama.
  6. Apabila yang disita adalah harta bawaan atau harta asal suami atau istri maka istri atau suami dapat mengajukan perlawanan pihak ketiga dan perlawanannya dapat diterima, kecuali:
    1. Suami istri tersebut menikah berdasarkan BW dengan persatuan harta atau membuat perjanjian perkawinan berupa persatuan hasil dan pendapatan.
    2. Suami atau istri tersebut telah ikut menandatangani surat perjanjian hutang, sehingga harus ikut bertanggung jawab.
  7. Perlawanan pihak ketiga adalah upaya hukum luar biasa dan pada azasnya tidak menangguhkan eksekusi.
  8. Eksekusi mutlak harus ditangguhkan oleh Ketua Pengadilan Agama yang memimpin eksekusi yang bersangkutan, apabila perlawanan benar-benar beralasan, misalnya, apabila sertifikat tanah yang akan dilelang sejak semula jelas tercatat atas nama orang lain, atau dari BPKB yang diajukan, jelas terbukti bahwa mobil yang akan dilelang itu, sejak lama adalah milik pelawan. Harus diperhatikan apabila tanah atau mobil tersebut baru saja tercatat atas nama pelawan, karena ada kemungkinan tanah atau mobil itu diperoleh oleh pelawan, setelah tanah atau mobil itu disita, sehingga perolehan barang tersebut tidak sah.
  9. Terhadap perkara  perlawanan  pihak  ketiga  ini,  Ketua  Majelis  yang  memeriksa perkara tersebut, selalu harus  melaporkan perkembangan perkara itu kepada Ketua Pengadilan Agama, karena laparon tersebut diperlukan oleh Ketua Pengadilan Agama untuk menentukan kebijaksanaan mengenai diteruskan atau ditangguhkannya eksekusi yang dipimpinnya.
  10. Perlawanan pihak ketiga terhadap  sita  jaminan,  yaitu  sita  conservatoir dan  sita revindicatoir, tidak diatur baik dalam HIR, RBg, atau Rv. Dalam praktek menurut yurisprudensi putusan Mahkamah Agung tanggal 31-10-1962 No. 306 K/Sip/1962 dalam perkara: CV Sallas dkk melawan PT. Indonesian Far Eastern Pasific Line, dinyatakan bahwa meskipun mengenai perlawanan terhadap pensitaan conservatoir tidak  diatur  secara  khusus dalam  HIR,  menurut  yurisprudensi perlawanan yang diajukan oleh pihak ketiga selalu pemilik barang yang disita dapat diterima, juga dalam hal sita conservatoir, ini belum disahkan (van waarde verklaard). Lihat putusan Mahkamah Agung tanggal 31-10-1962 No. 306 K/Sip/1962, dalam Rangkuman Yurisprudensi II halaman 370).

PENANGGUHAN EKSEKUSI

  1. Eksekusi dapat  ditangguhkan  oleh  Ketua  Pengadilan  Agama  yang  memimpin eksekusi. Dalam hal sangat mendesak dan Ketua Pengadilan Agama berhalangan, Wakil Ketua Pengadilan Agama dapat memerintahkan agar eksekusi ditunda.
  2. Dalam rangka pengawasan atas jalannya peradilan yang baik, Ketua Pengadilan Tinggi selaku voorpost dari Mahkamah Agung dapat memerintahkan agar eksekusi ditunda atau diteruskan. Dalam hal sangat mendesak dan Ketua Pengadilan Tinggi berhalangan, Wakil Ketua Pengadilan Tinggi dapat memerintahkan agar eksekusi ditunda.
  3. Wewenang untuk menangguhkan eksekusi atau agar  eksekusi diteruskan,  pada puncak tertinggi, ada pada Ketua Mahkamah Agung. Dalam hal Ketua Mahkamah Agung berhalangan, dilaksanakan oleh Wakil Ketua Mahkamah Agung.

PUTUSAN NON EXECUTABLE

Suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dinyatakan non eksekutabel oleh Ketua Pengadilan Agama, apabila:

  1. Putusan yang bersifat deklaratoir dan konstitutif.
  2. Barang yang akan dieksekusi tidak berada di tangan Tergugat/Termohon eksekusi;
  3. Barang yang akan dieksekusi tidak sesuai dengan barang yang disebutkan di dalam amar putusan;
  4. Amar putusan tersebut tidak mungkin untuk dilaksanakan.
  5. Ketua Pengadilan Agama tidak dapat menyatakan suatu putusan non eksekutabel, sebelum seluruh proses / acara eksekusi dilaksanakan, kecuali yang tersebut pada butir a. Penetapan non eksekutabel harus didasarkan Berita Acara yang dibuat oleh juru sita yang diperintahkan untuk melaksanakan (eksekusi) putusan tersebut;
  6. Penetapan Non eksekutabel bersifat final dan tidak dapat diajukan keberatan.

PENAWARAN PEMBAYARAN TUNAI DAN KOGSINASI

  1. Penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan/konsignasi merupakan salah satu hal/sehab hapusnya perikatan.
  2. Konsignasi diatur dalam Pasal 1404 s/d. 1412 KUHPerdata.
  3. Jika si  berpiutang  menolak  pembayaran dari  yang  berutang,  maka  pihak  yang berutang dapat melakukan pembayaran tunai utangnya dengan menawarkan pembayaran yang  dilakukan  oleh  jurusita  dengan  disertai  2  (dua)  orang  Apabila yang berpiutang menolak menerima pembayaran. maka uang tersebut dititipkan pada kas kepaniteraan Pengadilan Agama sebagai titipan/konsignasi.
  4. Penawaran dan penitipan tersebut harus disahkan dengan penetapan hakim.
  5. Cara-cara konsignasi:
    1. Yang berutang mengajukan permohonan tentang penawaran pembayaran dan penitipan tersebut ke Pengadilan Agama yang meliputi tempat dimana persetujuan pernbayaran harus dilakukan (debitur sebagai pernohon dan kreditur sebagai terrnohon).
    2. Dalam hal  tidak  ada  persetujuan  tersebut  pada  sub  a,  maka  permohonan diajukan  ke  Pengadilan  Agama  dimana  termohon  (si  berpiutang  pribadi) berternpat tinggal atau ternpat tinggal yang telah dipilihnya.
    3. Permohonan konsignasi didaftar dalarn register permohonan.
    4. Ketua Pengadilan Agama memerintahkan jurusita Pengadilan Agama dengan disertai oleh  2  (dua)  orang  saksi,  dituangkan dalam  surat  penetapan untuk melakukan  penawaran  pernbayaran  kepada  si  berpiutang  pribadi  di  tempat tinggal atau ternpat tinggal pilihannya.
    5. Jurusita dengan  disertai  2  (dua)  orang  saksi  menjalankan  perintah  Ketua Pengadilan  Agama  tersebut  dan  dituangkan  dalam  berita  acara  tentang pernyataan kesediaan untuk membayar (aanbod van gereede betaling).
    6. Kepada pihak berpiutang diberikan salinan dari berita acara tersebut.
    7. Juru sita rnernbuat berita acara pernberitahuan bahwa karena pihak berpiutang menolak pernbayaran, uang tersebut akan dilakukan penyimpanan (konsignasi) di kas kepaniteraan Pengadilan Agama yang akan dilakukan pada hari, tanggal dan jam yang ditentukan dalam berita acara tersebut.
    8. Pada waktu yang telah ditentukan tersebut di atas, jurusita dengan disertai 2 (dua) orang  saksi  menyerahkan  uang  tersebut  kepada  panitera  Pengadilan Agama dengan menyebutkan jumlah dan rincian uangnya untuk disirnpan dalam kas kepaniteraan Pengadilan Agama sebagai uang konsignasi.
    9. Agar supaya  pernyataan  kesediaan  untuk  membayar  yang  diikuti  dengan penyimpanan tersebut sah dan berharga, harus diikuti dengan pengajuan permohonan oleh si berhutang terhadap berpiutang sebagai termohon kepada Pengadilan Agama, dengan petitum:
      • Menyatakan sah  dan  berharga  penawaran  pembayaran  dan  penitipan sebagai konsignasi.
      • Menghukum Pemohon membayar biaya perkara.

Sumber :
Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, Buku II, Edisi 2009, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2009, hlm. 158-191.

Hubungi Kami

Pengadilan Agama Mimika

Jl. Yos Sudarso, Kamoro Jaya, Distrik Wania, Kabupaten Mimika, Papua.

Telp./Fax. 0901-3125011

Email : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

Facebook Icon Twitter Icon Whatsapp Icon Instagram Icon Youtube Icon

Tautan Aplikasi

Tim IT Pengadilan Agama Mimika @ 2022